KARAKTERISTIK LUBANG PERSEMBUNYIAN DAN VARIASI UKURAN KERANG SIPETANG
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi
di dunia, sehingga mendapat julukan sebagai biodiversity country.
Keanekaragaman hayati ini mencakup ekosistem, spesies yang berada di darat dan
laut, padahal luas daratan Indonesiia hanya 1,5 % dari luas di dunia. Selain
geologi pembentukan yang berbeda di antara pulau-pulau di Indonesia, variasi
iklim dari bagian barat yang lembab sampai bagian timur yang kering sangat
mempengaruhi pembentukan ekosistem dan distribusi binatang maupun tumbuhan yang
ada di dalamnya (Susmianto, 2004).
Wilayah
Kota Dumai terletak pada posisi koordinat 101o23’37” – 101o28’13”
BT dan 01o23’00” – 01o24’23” LU. Wilayahnya terdiri dari
tanah rawa bergambut dengan kedalaman 0–0,5 m dan beberapa kilometer ke
arah Selatan terdapat daratan rendah dengan kemiringan 0–5 %. Memiliki luas
1.772,38 km2 terdiri dari 5 kecamatan dan 32 kelurahan. Kelima
kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Dumai Barat dengan luas 120 km2,
Kecamatan Dumai Timur dengan luas 59 km2 dan Kecamatan Bukit Kapur
dengan luas 250 km2, Kecamatan Medang Kampai 373 dan Kecamatan
Sungai Sembilan 970,38 km2 (Hanif, 2011).
Perairan
pesisir Kota Dumai merupakan bagian dari selat Rupat, selat ini terletak antara
daratan pulau Sumatera dengan pulau Rupat. Bagian utara dan timur selat Rupat
berhubungan langsung dengan selat Malaka maka pada musim-musim tersebut kondisi
di selat Malaka akan merambat masuk ke perairan pesisir Kota Dumai melalui
ujung utara dan timur selat Rupat, sehingga pada beberapa bagian pesisir
terutama bagian timur dan utara terjadi abrasi pantai akibat aksi gelombang
besar yang merambat dari selat Malaka (Hanif, 2011).
Sebagai
suatu sistem yang utuh, wilayah pesisir memiliki dinamika yang khas yang
semestinya menjadi pertimbangan dalam pemanfaatannya. Dalam konteks ekologi
wilayah pesisir akan berakibat pada tidak mulusnya roda dinamika komponen
sistem yang lain yang ada dalam wilayah pesisir, termasuk dinamika
pemanfaatannya (Abrahamsz et al, 2005).
Kampus
Marine Station (Stasiun Kelautan) Universitas Riau berada di Jalan Raja Ali
Haji Purnama, daerah pesisir Kota Dumai, tepatnya di Muara Sungai Masjid dan
Selat Rupat. Kampus ini memiliki kawasan ekosistem mangrove yang dapat dikatakan cukup baik. Hal ini dapat
dilihat dari kerapatan pohon-pohon bakau dikawasan tersebut, juga keanekaragaman
hayati untuk flora dan faunanya yang cukup beragam dan saling barasosiasi dalam
ekosistem tersebut, termasuk juga dalam hal ini sipetang.
Penggunaan organisme
laut sebagai objek penelitian perlu dilakukan karena dapat menggambarkan
kualitas lingkungan perairan. Bivalvia merupakan kelompok organisme yang cukup
dominan pada perairan laut, khususnya mangrove. Sipetang (Pharus sp)
merupakn salah satu organisme yang banyak terdapat pada ekosistem mangrove.
Namun hingga sampai saat ini masih belum banyak orang yang meneliti sipetang
jika dibandingkan dengan jenis bivalvia lainnya. Oleh karena itu praktikan
tertarik untuk melakukan praktikum Metode Ekologi Muara dan Pantai yang
berkaitan dengan Sipetang.
1.2. Tujuan
Tujuan
dari pelaksanaan praktikum Metode Ekologi Muara dan Pantai adalah untuk
mengetahui karakteristik lubang tempat bersembunyi sipetang, melihat variasi
ukuran dari sepetang pada saat dilaksanakan praktikum. Selain itu praktikum ini
juga merupakan ajang pelatihan bagi
mahasiswa sebelum melakukan penelitian terhadap objek yang terkait.
1.3. Manfaat
Manfaat
dari pelaksanaan praktikum Metode Ekologi Muara dan Pantai adalah diharapkan
dapat mejadi salah satu sumber informasi sehingga mampu menambah wawasan bagi
pembaca dan menambah pengalaman bagi praktikan khususnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sipetang (Pharus sp.)
Sipetang adalah kerang (bivalva) yang tergolong organisme
makrofauna, bentuk tubuhnya memanjang, mempunyai cangkang yang rapuh, hidup
pada lubang pada genangan air baik pada waktu pasang ataupun surut di hutan
mangrove yang terlindung dari cahaya matahari dengan sedimen dasar didominasi
oleh lumpur, makan dengan cara menyaring makanan (filter feeder) dan menunggu
makanannya di dalam lubang. Lubang tempat tinggalnya berbentuk pipih dan lurus
ke dalam sedimen serta tidak berkelok-kelok. Masyarakat memperolehnya pada saat
petang hari sehingga jenis ini disebut sipetang (Tanjung, 2000 dalam Tobing,
2007).
2.2. Klasifikasi
Sipetang dalam tata namanya dikla`sifikasikan kedalam
Phylum : Mollusca,
Kelas : Pelecipoda,
Sub kelas : Limellibrancia,
Ordo : Venoroida,
Famili : Solecurtidae,
Genus : Pharus
Spesies : Pharus sp.
atau Pharella actuidens
2.3. Morfologi
Bivalvia
atau lebih dikenal dengan kerang, mempunyai dua keping atau belahan yaitu
belahan sebelah kanan dan kiri yang disatukan oleh suatu engsel bersifat
elastis disebut ligamen dan mempunyai satu atau dua otot adductor dalam
cangkangnya yang berfungsi untuk membuka dan menutup kedua belahan cangkang
tersebut. Untuk membedakan belahan kanan dan balahan kiri cangkang terkadang
mengalami kesulitan, hal ini biasa terjadi pada bivalvia yang hidup menempel
pada benda keras misalnya pada karang, karena pertumbuhan bivalvia ini
mengikuti bentuk dari permukaan karang tersebut sehingga bentuknya tidak wajar
(Barnes, 1987 dalam Adhy, 2010).
Hewan sipetang mempunyai bentuk cangkang yang memanjang
tersiri dari belahan yang simetris. Bagian anterior cangkang mempunyai ujung
yang agak meruncing jika dibandingkan dengan posterior cangkang yang ujungnya
membundar, terletak berlawanan arah dengan anterior. Umbo terletak berdekatan
dengan anterior, permukaan cangkang dipenuhi oleh guratan-guratan berbentuk
garis yang melingkari umbo, biasanya disebut garis pertumbuhan (Broom, 1985).
Morfologi dari spesies ini menurut Storer et al., (1997)
dalam Tobing (2007) adalah simetris bilateral dengan tubuh lunak yang memenuhi
kedua cangkang lateral dan secara dorsal berhimpitan. Nontji (1993) dalam
Tobing (2007) menyatakan bivalva memiliki kepala dan kaki yang berbentuk
kampak. Cangkang yang melindungi tubuh
berbentuk bulatan ditandai dengan garis pertumbuhan konsentrik yang berputar ke
arah yang lebih besar (umbo) dekat dengan ujung anterior bagian dorsal.
Jorgensen (1990) dalam Tobing (2007) menambahkan, sendi
ligamen manahan cangkang bagian dorsal bersama – sama dan membentang untuk
membuat kedua belah cangkang yang menandakan dimana beberapa otot melekat. Otot
ini berperan membuka cangkang dan menggerakkan kakinya. Dan siphon merupakan
tempat pemasukan dan pengeluaran air dan lumpur.
2.4. Habitat
Menurut
Suwignyo (2005) dalam Susiana (2011), Bivalvia umumnya terdapat di dasar
perairan yang berlumpur atau berpasir, beberapa hidup pada substrat yang lebih
keras seperti lempung, kayu, atau batu. Habitat mangrove ditandai oleh besarnya
kandungan bahan organik, perubahan salinitas yang besar, kadar oksigen yang
minimal dan kandungan H2S yang tinggi
sebagai hasil penguraian sisa bahan organik yang miskin oksigen.
Pharus
sp sebagai hewan
benthos, hidup diperairan yang dangkal pada substrat lumpur halus, hewan ini
dapat dijadikan bioindikator untuk mengetahui kualitas suatu perairan, krena
sifatnya yang filter feeder dan hidup menetap (Febrita et al, 2006). Cara hidup organisme estuari termasuk sipetang menurut
Nybakken (1988) dalam Tobing (2007) adalah dengan cara menggali lubang pada
suatu substrat berlumpur yang sesuai dengan ukuran tubuhnya.
III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan tempat
Praktikum
Metode Ekologi Muara dan Pantai dilaksanakan pada hari Sabtu 12 Mei 2012 pukul
13.30 – 15.30 WIB. Bertempat di kawasan hutan mangrove Kampus Marine Station
(Stasiun Kelautan) di Kelurahan Purnama, Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai, Provinsi Riau.
3.2. Alat dan Bahan
Alat
yang digunakan dalam praktikum ini adalah Alat Tulis untuk mencatat data-data
yang perlu ketika di lapangan, botol sebagai wadah bagi sipetang yang diambil
dari lokasi praktikum, kamera untuk mendokumentasikan kegiatan praktikum
danobjek praktikum. Sedangkan bahan yang dijadikan objek praktikum adalah hewan
sipetang.
3.3. Metode Praktikum
Praktikum
dilakukan dengan metode Survey yakni pengamatan langsung di lapangan. Data yang
didapat kemudian dikumpulkan dan diolah untuk selanjutnya dideskripsikan.
3.4. Prosedur Praktikum
Karakteristik lubang
tempat hidup sipetang :
·
Telusuri
substrat di lantai hutan mangrove yang dialiri air,
·
Periksa
setiap lubang tersebut satu per satu apakah terdapat sipetang atau tidak,
·
Setelah
lubang tempat hidup sipetang telah ditemukan, selanjutnya amati karakteristik
atau perbedaan lubang tersebut dibandingkan lubang yang tidak terdapat
sipetang.
·
Amati
berdasarkan ukuran lubang, kedalamalubang, aktivitas yang terlihat dari luar
lubang, jenis substrat tempat lubang itu dibuat dan lain-lain.
Analisis ukuran
sipetang
Analisis ukuran sipetang menggunakan
statistik sederhana dengan menggunakan aplikasi M. Excel. Analisis ukuran
berdasarkan :
·
Mean
= jumlah seluruh ukuran individu / jumlah individu atau di M. Excel menggunakan
formula =average( nilai batas atas : nilai batas atas), digunakan ketika data
telah diurutkan.
·
Median
= (jumlah individu + 1) / 2 atau di M. Excel menggunakan formula =median( nilai
batas atas : nilai batas atas), digunakan ketika data telah diurutkan.
·
Modus
jumlah individu yang sering muncul atau di M. Excel menggunakan formula =mode(
nilai batas atas : nilai batas atas), digunakan ketika data telah diurutkan.
·
Max
= nilai maksimum atau di M. Excel menggunakan formula =max( nilai batas atas :
nilai batas atas), digunakan ketika data telah diurutkan.
·
Min
= nilai minimum atau di M. Excel menggunakan formula =mean( nilai batas atas :
nilai batas atas), digunakan ketika data telah diurutkan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Ketika
melakukan pencarian sipetang di lokasi praktikum terlihat banyak sekali lubang–lubang
tempat hidupnya organisme kerang-kerangan di lantai hutan mangrove yang tergenang air. Berdasarkan Pengamatan langsung di lapangan
didapat karakteristik lubang tempat hidup sipetang. Adapun lubang bersembunyi
sipetang memiliki karakteristik sebagai berikut :
·
Pada
umumya bersubstrat lumpur yang halus atau lempung.
·
Bentuk
lubang pipih.
·
Vertikal
ke arah kedalam substrat.
·
Lubang
tempat hidup sipetang tergenang air.
·
Terlihat
adanya sirkulasi air yang keluar darilubang tersebut ketika air dalam keadaan
tenang yang menandakan adanya organisme yang hidup di dalam lubang tersebut.
·
Mulut
lubang tempat hidup berlendir.
·
Kedalaman
lubang tempat hidup umumnya kira-kira sepanjang jari telunjuk orang dewasa,
bahkan terkadang bisa jauh lebih dalam.
Sedangkan
ukuran panjang sipetang disusun di dalam tabel dibawah ini :
Sipetang
|
panjang (cm)
|
Sipetang
|
panjang (cm)
|
|
1
|
2
|
15
|
5,2
|
|
2
|
4,2
|
16
|
5,2
|
|
3
|
4,2
|
17
|
5,3
|
|
4
|
4,4
|
18
|
5,6
|
|
5
|
4,5
|
19
|
5,7
|
|
6
|
4,5
|
20
|
5,8
|
|
7
|
4,5
|
21
|
5,9
|
|
8
|
4,6
|
22
|
6,2
|
|
9
|
4,8
|
23
|
6,3
|
|
10
|
4,9
|
24
|
6,3
|
|
11
|
4,9
|
25
|
6,5
|
|
12
|
5
|
26
|
6,5
|
|
13
|
5
|
27
|
6,7
|
|
14
|
5
|
4.2. Pembahasan
Lubang tempat hidup sipetang yang ditemukan digenangi air dan
juga terlihat aktivitas air keluar masuk dari atau ke lubang tempat hidup
sipetang. Hal ini disebabkan karena sipetang merupakan hewan akuatik yang
merupakan filter feeder yakni hewan yang mendapatkan makanan dengan cara
menyaring bahan makanan yang terlarut dengan air. Oleh sebab itu, ketika air di
sekitar lubang dalam keadaan tenang, maka akan terlihat aktivitas sirkulasi air
keluar masuk dari lubang tersebut.
Sipetang ditemukan pada substrat lumpur halus. Hal ini sesuai
dengan Febrita et
al (2006) yang menyatakan bahwa Sipetang
merupakan jenis organisme yang senang hidup di perairan bersedimen lumpur dan
daerahnya terlindung dari gerakan langsung ombak laut. Bentuk lubang
tempat hidup sipetang pipih dan vertikal ke arah dalam substrat. Hal ini sesuai
dengan Nusrawati (2000) dalam Tobing (2007) yang
menyatakan bahwa Lubang yang dibentuk oleh sipetang memiliki bentuk pipih
memanjang lurus ke bawah. Hal ini disebabkan oleh bentuk tubuh sipetang yang
pipih lateral dan memanjang.
Adapun
hasil analisis dari ukuran panjang sipetang adalah sebagai berikut :
Mean :
|
5,17
|
Median :
|
5
|
Modus :
|
4,5
|
Max :
|
6,7
|
Min :
|
2
|
Berdasarkan
hasil analisis statistik sederhana, dari ukuran sipetang ditemukan bahwa ukuran
panjang rata-rata dari sipetang adalah 5,17 atau rata-rata ukuran panjang
sipetang pada saat dilakukannya praktikum adalah 5 cm. Median atau nilai tengah
dari populasi sipetang tersebut adalah 5 cm. Modus atau nilai yang sering
muncul dari populasi tersebut adalah 4,5 cm, namun nilai ini tidak dapat
menggambarkan bahwa kebanyakan sipetang yang ditemukan berukuran demikian,
karena jika dilihat dari ukuran masing-masing individu sipetang yang tertangkap
kebanyakan berukuran < 4,5 cm dan > 4,5cm. Ukuran sipetang paling panjang
yang didapat adalah 6,7 cm dan ukuran sipetang paling pendek adalah 2 cm dengan
jumlah 1 individu.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Lubang
tempat tempat hidup sipetang memiliki perbedaan darilubang tempat hidup
kerang-kerangan lain. Lubang tempat hidup sipetang memiliki saluran
tempatkeluarnya air, mulut lubang berlendir dan umunya berada pada substrat
luumpur halus dan lempung.
Berdasarkan
dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ukuran panjang rata-rata dari
sepetang yang ditemukan adalah 5 cm. Ukuran sipetang yang paling panajang
adalahh 6,7 cm dan hampir panjang keseluruhan sipetang berkisar antara 4 – 6
cm. Sipetang yang terkecil berukuran 2 cm dengan jumlah 1 individu.
5.2. Saran
Penulis
berharap kepada peneliti agar lebih banyak meneliti tentang sipetang dan hasil
penelitian tersebut dapat dipublikasikan. Karena penulis cukup sulit menemukan
literatur-literatur terbaru yang berkaitan dengan sipetang. Selain itu, masih
banyak kesempatan bagipeneliti muda uuntuk meneliti hal-hal yang berkaitan dengan
sipetang.
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamsz, A., Tuapattinaja, M. A. 2005. Evaluasi kawasan konservasi hutan mangrove di Desa Passo. Ichthyos
: jurnal penelitian ilmu-ilmu perikanan dan kelautan. Universitas
Pattimura. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 4 (93-98).
Adhy. 2010. Pelecypoda Hutan
Mangrove. http://pelecypoda.blogspot.com/. (diakses pada tanggal 20 Juni 2012 pukul 23.00).
Febrita, E., Suswono, Umairah, D.
2006. Kandungan Logam Berat (Pb Dan Cu) Pada Sipetang (Pharus Sp) Sebagai
Bioindikator Kualitas Perairan Di Selat Bengkalis. Program Studi Pendidikan
Biologi FKIP Universitas Riau. Jurnal Biogenesis. Vol. 2(2):41-46, 2006.
Hanif, A. 2011.
Kota Dumai dan Kawasan Konservasi Mangrove. Loka Kawasan Konservasi Perairan
Nasional. http://www.kp3k.kkp.go.id/lkkpn/index.php?option=com_content&view=article&id=123:kota-dumai-dan-kawasan-konservasi-mangrove&catid=31:beranda&Itemid=28.
Susiana. 2011. Skripsi : Diversitas
Dan Kerapatan Mangrove, Gastropoda Dan Bivalvia Di Estuari Perancak, Bali.
Program Studi Manajemen Suberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu
Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin (tidak diterbitkan).
Susmianto, A. 2004. Aspek pengumpulan data dan
informasi sumberdaya perairan darat dalam rangka konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya. Limnotek : perairan darat tropis di
Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pusat Penelitian Limnologi. 9
(25-30).
Tobing, L. M.
2007. Skripsi : Kandungan Logam Timbal (Pb) pada Sipetang (Pharella
actuidens) di Perairan Dumai. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Riau (tidak diterbitkan).
No comments:
Post a Comment