ARTEMIA
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Artemia
merupakan pakan alami yang sangat penting dalam
pembenihan ikan laut, krustacea, ikan konsumsi air tawar dan ikan hias air
tawar karena ukurannya yang sangat kecil. Disamping ukurannya yang kecil, nilai
gizi Artemia juga sangat tinggi dan sesuai dengan kebutuhan gizi untuk
larva ikan dan krustacea yang tumbuh dengan sangat cepat. Sampai saat ini Artemia
sebagai pakan alami belum dapat digantikan oleh pakan lainnya.
Artemia
biasanya diperjual belikan dalam bentuk kista/cyste,
sehingga sebagai pakan alami Artemia merupakan pakan yang paling mudah
dan praktis, karena hanya tinggal menetaskan kista saja. Akan tetapi,
menetaskan kista Artemia bukan suatu hal yang dengan begitu saja dapat
dilakukan oleh setiap orang. Sebab membutuhkan suatu keterampilan dan
pengetahuan tentang penetasan itu sendiri. Kegagalan dalam menetaskan kista Artemia
barakibat fatal terhadap larva ikan yang sedang dipelihara.
1.2. Tujuan dan manfaat
Tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk
menjelaskan peran Artemia sebagai pakan alami dalam aspek bioteknologi.
Mendeskripsikan secara umum mengenai Artemia, serta teknik penetasan Artemia.
Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas yang
diberikan kepada Mahasiswa sebagai
syarat UAS.
Sedangkan manfaat dari
penulisan makalah ini adalah agar dapat menjadi salah satu bahan bacaan yang
dapat memperluas cakrawala bagi pembaca.
II. ISI
2.1. Pakan alami
Pakan Alami
adalah segala bahan makanan yang tersaji dan berasal langsung dari alam.
Contoh: Silase atau daun-daunan adalah makanan alaminya ternak (di darat).
Fitoplankton dan zooplankton adalah makanan alaminya ikan (di air). Pakan
alami, terdiri atas :
Pakan Segar (fresh feed atau
frozen feed). Adalah pakan segar dan beku dari freezer dimana bentuknya tidak
berubah seperti keadaan hidup. Misalnya fito maupun zooplankton beku serta ikan
atau udang-udangan beku dll.
Pakan Hidup (live food). Adalah pakan yang diberika dalam keadaan masih hidup
ketika diberikan kepada hewan kultivan. Pakan ini bisa dibiakkan bersama-sama
dengan kultur kultivan tapi juga bisa dibiakkan terpisah. Misal: fitoplankton
Chlorella sp atau zooplankton Brachionus sp atau Artemia sp sebagai pakan yang
dibiakkan bersama-sama dengan larva ikan laut dan udang.
2.1.1. Syarat-syarat pakan alami
Ada beberapa
persyaratan sebuah bahan pakan bisa dipakai dalam
budidaya. Syarat-syarat tersebut
adalah:
o Bergizi (nutritious)
o Tidak beracun (non-toxics)
o Mudah ditelan (ingestible)
o Mudah dicerna (digestible)
o Tekstur partikel kompak (intact
dan water stability tinggi)
o Ukurannya (diameter) sesuai
usofagus kultivan
o Bentuknya sesuai target kultivan
o Mudah dilihat, menarik dan
disukai (visible. attractive dan Palatable)
o Murah harga dan proses membuatnya
(affordable)
o Mudah didapat (available)
Sementara itu
pakan harus memenuhi syarat sesuai kebutuhan kultivan dalam masa-masa
perkembangannya. Syarat-syarat tersebut menyangkut tentang:
1.
Amount
or density of food (jumlah atau densitas pakan)
Adalah jumlahnya
atau kuantitas pakan yang dibutuhkan oleh kultivan sesuai dengan
perkembangannya. Pakan yang diberikan tidak sekedar mengenyangkan tetapi juga
harus memenuhi syarat nutrisi. Contoh: densitas makanan untuk kultur larvae
ikan laut berkisar antara 0.05 kopepoda per mL sampai 200 dinoflagellata per
mL.
Secara nutrisi stadia
awal pertumbuhan memerlukan kandungan protein relative lebih tinggi dibandingkan
dengan stadia lanjut dimana nutrisi banyak difungsikan untuk pertahanan hidup.
Ikan Nila (Tilapia nilotica) misalnya, jumlah pakan buatan yang diberikan
berkisar 3% dari berat badannya (atau dari total berat ikan yang dipelihara)
per hari. Frekuensi pemberian pakannya (feeding frequency) bisa diberikan 3
kali waktu feeding misalnya pagi, siang, dan sore.
Sementara itu,
Lele (Clarias batrachus) jumlah pakan yang diberikan sebanyak 5-10% dari berat
totalnya dengan frekuensi 3 kali sehari yakni pagi, siang, dan sore. Ikan Kakap
Putih (Lates calcarifer) yang hidupnya omnifora dimana di stadia awal berukuran
1-10 cm makannya plankton, udang kecil, dan ikan kecil, maka setelah berukuran
20 cm hampir 70% perutnya diisi oleh udang-udangan dan 30%-nya ikan-ikan kecil.
Pemberian pakan ikan ini tergantung pada ukurannya.
Untuk ikan
dengan berat kurang dari 100 g diberi sebanyal 8-10% dari berat ikan yang
dipelihari per hari, sedangkan untuk ikan dengan berat lebih dari 100 g
sebanyak 3-4% dari berat total ikan yang dipelihara. Sedangkan frekuensi
pemberian pakannya adalah 3-4 kali per hari sedangkan ikan besar bisa 2 kali
per hari dilakukanpada saat setelah matahari terbit dan sebelum matahari
terbenam.
Pada densitas
pakan yang tinggi menyebabkan masalah pada kondisi suhu tinggi. Baik reproduksi
pakan hidup, misal kopepoda atau mikroalgae, dan metabolisme, misalnya terjadi
kenaikkan konsumsi oksigen dan produksi ammonia, semua biota hidup dalam tanki
pemeliharaan akan naik.
2. Particle texture, Size and Shape
(Tekstur butiran, ukuran dan bentuk)
Tekstur butiran
pakan merupakan faktor penting sehingga pakan tetap terkontrol dalam keadaan stabil
densitasnya (intact) dan terkontrol kandungan airnya. Stabilitas pakan dalam
air (water stability of feed) menjadi hal penting sehingga pakan sampai pada
sasarannya tanpa mengalami kerusakan yang mengurangi nilai nutrisinya. Ukuran
rata-rata pakan buatan disesuaikan dengan diameter usofagus larva kultivan.
Kelemahan
penggunaan pakan buatan biasanya terletak pada ketidak elastiknya pakan
dibanding pakan hidup dan tidak kompatibelnya pakan setelah ditelan oleh
kultivan. Padahal pakan harus bisa ditelan (ingestible), kemudian masuk dalam
system pencernaan kultivan untuk dicerna (digestible). Ukuran dan bentuk pakan
merupakan hal yang penting yang disesuaikan dengan jenis kultivan (menyangkut
kebiasaan makan dan kebiasaan memakannya) dalam stadia hidupnya.
Kultivan yang
secara alami hidupnya di dasar seperti udang atau lele, maka pakan yang
disediakan harus pakan dengan bentuk yang sedemikian rupa sehingga mudah tenggelam
dan bisa sampai di dasar. Untuk bisa sampai di dasar ini berarti pakan harus
dibuat sedemikian rupa sehingga pakan tidak larut dan tidak hancur sampai di
dasar dimana kultivan berada. Untuk itu diperlukan teknik formulasi pakan bila
praktisi dihadapkan pada pilihan bahan pakan yang tidak banyak tersedia.
Sebaliknya, bagi
kultivan yang hidupnya di permukaan air, maka pakan harus dibikin untuk tidak
bisa tenggelam. Dilihat dari bentuknya, pakan bagi usia dini biasanya berbentuk
tepung (powder atau dust), juvenile berbentuk remah (crumble), sedangkan dalam
usia lanjut pakan berbentuk pellet (tubular) atau butiran (granule) tergantung
dengan cara makan kultivan. Udang cara makannya dengan cara menggerogoti
makanan di dasar perairan yang berbeda dengan ikan-ikan kecil yang makannya dengan
cara langsung telan atau ikan karnivor besar yang cara makannya dengan mengoyak
daging.
Beberapa metode
yang dipakai untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan tekstur partikel
adalah dengan memberikan komponen perekat (binder) sehingga pakan tetap dalam
keadaan kompak. Bahan-bahan pakan yang bisa dipakai sebagai binder diantaranya
adalah tepung kanji, terigu, sagu, dan agar-agar. Sementara itu, masalah yang
dihadapi pada ukuran biasanya dilakukan dengan metode seizing dan homogenizing sehingga
ukuran pakan dalam keadaan seragam.
3. Feeding Frequency
Kuantitas maupun
kualitas bahan pakan yang dikonsumsi kultivan ditargetkan untuk memenuhi syarat
gizi bagi pertumbuhannya. Frekuensi pemberian makanan tergantung kepada Gut
Evacuation Time atau masa pengosongan lambung kultivan, kebiasaan makan hewan kultivan.
4. Feeding Periodicity
Periode makan
suatu kultivan berbeda satu sama lain. Ada yang makan pada periode gelap, ada
yang makan pada periode terang.
5. Feeding Habits
Cara makan biota
berbeda-beda satu sama lain. Kebiasaan tersebut berkaitan dengan kebiasaan
hidupnya. Udang yang hidupnya di dasar (demersal) akan makan di dasar dengan
cara mengerat. Sementara itu ikan hiu memakan ikan lain dengan mengoyak
dagingnya. Banyak ikan memakan dengan cara menelan langsung korbannya.
6. Food Habits
Kebiasaan makanan
yang dikonsumsi oleh biota. Hal ini sesuai dengan kesukaannya terhadap jenis
makanan tertentu (food preferences) seperti: particulate feeders, filter
feeders, suspension feeder dan prey strikers. Berdasarkan variasi makanannya
dibedakan sebagai makro atau mikro phytopahagous, zoo-planktivorous,
detrivorous, molluscivorous, piscivorous dan sebagainya.
7. Feeding Rate
Kecepatan makan
biota per satuan waktu tertentu.
8. Feeding Time
Waktu yang
dibutuhkan biota untuk memakan jumlah tertentu makanan yang diberikan.
9. Feeding Schedule
Jadwal pemberian
makanan kepada biota sesuai dengan kebutuhannya. Ada biota yang makan malam
hari maka jadwal makannya harus dibuat malam hari. Demikian sebaliknya bila
biota makannya pagi, siang atau sore hari. Pakan tersebut bisa diberikan secara
manual tetapi juga bisa diberikan secara otomatis dengan alat automatic
feeders.
10. Food atau Feed Conversion Ratio (FCR)
Secara praktis
diartikan sebagai jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg berat
hewan kultivan. Secara biologis FCR merupakan kemampuan biota (kultivan) untuk
merubah pakan menjadi daging. Semakin rendah nilai FCR maka semakin rendah
jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg daging kultivan. Artinya,
pakan tersebut semakin efisien untuk diubah menjadi daging oleh kultivan.
Secara ekonomis
ini menguntungkan karena menekan beaya produksi karena murahnya beaya pakan.
Artinya, bila kultivan herbivora diberi pakan nabati yang relatif murah,
kemudian kultivan bisa merubah menjadi protein hewani yang mahal harganya, maka
ini akan menguntungkan bagi akuakulturis.
Disamping faktor-faktor diatas,
maka faktor lingkungan menjadi hal yang perlu diperhatikan. Pergerakan air
(water movement) adalah sangat penting untuk oksigenasi, untuk mencegah adanya
stratifikasi suhu, dan untuk menyebarkan makanan dalam kolom air.
Namun demikian,
air yang terlalu deras atau berarus kencang justru akan menyulitkan larvae
kultifan untuk memakan, membuat larvae harus berjuang untuk makan sehingga
membuang-buang energi yang mestinya bisa untuk pertumbuhan daging. Derasnya
arus ini juga berakibat timbulnya gelembung-gelembung udara berlebihan yang
menyebabkan larvae bergerak cepat ke permukaan. Sirkulasi udara pada saatnya
nanti bisa dinaikkan secara pelanpelan (gradual) bilamana larvae semakin besar
dan menjadi perenang yang lebih kuat.
Aerasi
yang optimal akan tergantung kepada faktor-faktor seperti spesies, umur, dan
ukuran larvae serta bentuk tanki, suhu media, dan kualitas air. Wadah atau
tanki pemeliharaan juga merupakan faktor penting. Pertumbuhan dan
kelangsunganhidup larvae ikan biasanya akan lebih baik pada kondisi tanki
dengan warna gelap dibanding warna putih atau warna terang. Tanki dengan
dinding gelap dan dasar terang akan menaikkan tingkat penampakan pakan (food
appearance) baik bagi larvae maupun bagi akuakulturis.
2.1.2. Artemia sebagai pakan alami
Beberapa
pertimbangan mengapa praktisi budidaya mempergunakan Artemia sebagai sumber
pakan alami. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa:
1. Artemia telah secara intensif
dimanfaatkan sebagai pakan di industri
aquakultur secara luas, dan
kistanya telah tersedia di pasaran di berbagai
sumber yang biasa dipercaya
kualitasnya.
2. Teknologi untuk memproduksi
larvae nauplii dari materi kista Artemia telah diketahui secara baik.
3. Artemia telah dikenal sebagai
sumber pakan alami dengan kandungan nutrisi lengkah bagi pelbagai kelompok
kultifan krustasea dan ikan baik yang hidup pada media air laut maupun air tawar.
4. Artemia ditemukan di lebih dari
300 danau air asin dan di tambak-tambak garam di seluruh dunia. Pemanfaatan
terbesar Artemia berda di Asia Tenggara yang berasal dari the Great Salt Lake
di Utah, U.S.A dimana pemanenan (harvesting), pengeringan (drying), dan
pengalengan (canning) dilakukan dibawah lisensi Pemerintah Amerika.
5. Di hampir semua system
akuakultur, Artemia disajikan dalam bentuk naupli segar yang baru menetas.
Namun beberapa praktisi lebih memilih Artemia dewasa yang nilai nutrisi
dipercaya lebih baik.
2.2. Artemia
Artemia merupakan kelompok udang-udangan
dari phylum Arthopoda. Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti
copepode dan daphnia (kutu air). Artemia hidup di danau-danau garam (berair
asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini toleran terhadap selang salinitas
yang sangat luas, mulai dari nyaris tawar hingga jenuh garam.
Secara
alamiah salinitas danau dimana mereka hidup sangat bervariasi, tergantung pada
jumlah hujan dan penguapan yang terjadi. Apabila kadar garam kurang dari 6 %
telur artemia akan tenggelam sehingga telur tidak bisa menetas, hal ini
biasanya terjadi apabila air tawar banyak masuk kedalam danau dimusim
penghujan. Sedangkan apabila kadar garam lebih dari 25% telur akan tetap berada
dalam kondisi tersuspensi, sehingga dapat menetas dengan normal.
2.2.1. Klasifikasi
Secara taksonomis, klasifikasi
sistematika Artemia adalah sebagai berikut:
Phyllum : Arthropoda
Class : Crustacea
Subclass : Branchiopoda
Order : Anostraca
Family : Artemiidae
Genus : Artemia, Leach 1819
Nama Artemia
salina Linnaeus 1758 secara taksonomis sudah tidak dipakai lagi (Bowen dan
Sterling, 1978). Eksperimen persilangan antar Artemia dari pelbagai populasi
menunjukkan adanya isolasi reproduksi dari beberapa kelompok dalam populasi
(Clark dan Bowen, 1976) dan menyebabkan adanya pengakuan terhadap spesies
sibling sehingga penamaan secara taksonomi harus diberikan. Diantara strain
biseksual atau zygogenetik Artemia (populasi yang terdiri dari jantan dan
betina) ada 6 jenis sibling yang diketahui sejauh ini, yakni:
Artemia salina : Lymington England
Artemia
tunisiana : Eropa
Artemia
fransiscana : Amerika (Utara, Tengah
dan Selatan)
Artemia urmiana : Iran
Artemia
monica : Mono-Lake, CA-USA
Beberapa jenis
parthenogenesis (populasi terdiri dari Artemia betina saja, tidak ada
fertilisasi telur yang dibutuhkan untuk reproduksi) ditemukan di Asia dan Eropa.
Jenis ini mempunyai perbedaan genetic dalam hal pola jumlah kromosom dan
isoenzym yang menyebabkan jenis Artemia ini diklasifikasikan secara taksonomis
kedalam spesies Artemia parthenogenetica yang sangat membingungkan.
Sehingga dalam
kesempatan Simposium Internasional Pertama tentang Artemia di Amerika pada th.
1979, disarankan bahwa bilamana jenis sibling dari strain zygogenetik belum
teridentifikasi (melalui uji perkawinan silang dengan jenis sibling yang sudah
dikenal), dan hingga spesifikasi Artemia betul-betul diketahui (terutama pada
jenis parthenogenesis), maka hanya nama genus Artemia saja yang dipakai.
2.2.2. Morfologi
Gambar
1. Morfologi dan
bagian-bagian tubuh Artemia
2.2.3. Lingkungan hidup
Dalam tingkat
salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal, betina Artemia bisa
mengahasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50
hari) mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10 -11 kali. Dalam kondisi
super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi nauplii
atau kista sebanyak 300 ekor(butir) per 4 hari. Kista akan terbentuk apabila
lingkungannya berubah menjadi sangat salin dan bahan pakana sangat kurang
dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam hari.
Artemia dewasa toleran terhadap selang suhu
-18 hingga 40 ° C. Sedangkan tempertur optimal untuk penetasan kista dan
pertubuhan adalah 25 - 30 ° C. Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh
strain masing-masing. Artemia menghendaki kadar salinitas antara 30 - 35 ppt,
dan mereka dapat hidup dalam air tawar salama 5 jam sebelum akhirnya mati.
Variable lain yang penting adalah pH, cahaya dan oksigen. pH dengan selang 8-9
merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi
dari 10 dapat membunuh Artemia.
Cahaya minimal
diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi
pertumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup
Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan Artemia.
Dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu.
Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi
mikro algae.
Pada
kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dan beranak-pinak dengan
cepat. Sehingga suplai Artemia untuk ikan yang kita pelihara bisa terus
berlanjut secara kontinyu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah, dan air
banyak mengandung bahan organik, atau apabila salintas meningkat, artemia akan
memakan bakteria, detritus, dan sel-sel kamir (yeast). Pada kondisi demikian
mereka akan memproduksi hemoglobin sehingga tampak berwarna merah atau orange.
Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi kista.
2.2.4. Siklus hidup
Populasi Artemia
dijumpai hidup banyak di danau-danau garam dan tambak-tambak garam di seluruh
dunia. Pada suatu saat tertentu di setiap tahun, banyak partikel (butiran)
berwarna coklat berdiameter antara 200-300 mikron mengapung di permukaan danau.
Partikel coklat ini dalam jumlah banyak terlihat seperti tepung yang sebenarnya
terdiri dari kista kering yang tidak aktif dalam kondisi tetap “tidur”
(crystobiosis) sepanjang kondisi tetap kering.
Selama kondisi terendam air laut, kista yang
bentuknya bundar (biconcave) akan terhidrasi, berubah bentuk menjadi lonjong
(spherical), dan di dalam cangkang embrio terus mengalami proses metabolism.
Selama 24 jam masa inkubasi embrane luarnya pecah dan embrionya keluar.
Beberapa jam kemudian embrio betul-betul meninggalkan cangkangnya. Namun masih
melekat di bawah cangkangnya (fase payung).
Di dalam fase
membrane penetasan perkembangan nauplii telah selesai, kaki-kakinya mulai
bergerak dan dalam jangka pendek membrane penetasan pecah dan terpisah (disini
istilah penetasan dimulai) dan nauplii yang bebas berenang lahir. Fase larva
yang pertama berukuran 400-500 mikron panjangnya, berwarna coklat-oranye
(sebagai akumulasi cadangan telurnya) dan mempunyai 3 pasang kaki.
Kaki pertama
atau antenna pertama disebut antennulae yang berfungsi sebagai alat gerak dan
menyaring makanan, dan mandible yang berfungsi untuk meraup makanan. Mata
tunggal (ocellus) berwarna merah terletak diantara antenna pertama. Bagian
ventral hewan ini tertutup oleh labrum besar yang berperan dalam proses
pengambilan makanan (mentransfer partikel makanan dari setae penyaring ke dalam
mulutnya).
Instar 1 belum
bisa makan karena system pencernaannya belum berfungsi, apalagi mulut dan
anusnya masih tertutup. Setelah kira-kira 12 jam hewan berganti kulit kedalam
fase larva yang ke 2 (dikenal juga sebagai instar II). Partikel makanan
berukuran kecil (misal sel algae, bacteria, detritus) antara 1-40 mikron
disaring oleh antenna ke-2 dan kemudian dimasukkan kedalam saluran
pencernaannya (ingestion).
Larva berkembang dan berubah bentuk melalui 15
kali ganti kulit (moulting). Sepasang kaki lobular muncul di bagian dada dan
berganti menjadi thoracopod, pada kedua sisi sepasang mata lateral terbentuk.
Dari instar 10 keatas, terjadi perubahan fungsi dan morfologis, misalnya
antennae kehilangan fungsi lokomotionnya dan mengalami perubahan seksual.
Gambar
2. Siklus hidup Artemia
Pada hewan jantan, antennae ini berkembang
menjadi pengait/penjepit, sementara pada hewan betina entennae berubah menjadi
kaki-kaki sensor. Thorakopod sekarang berubah kedalam 3 fungsi, yakni:
telopodit dan endopodit yang mempunyai fungsi pergerakan (locomotion) dan
penyaringan makanan (filter-feeding), serta ekspodit membrane berfungsi sebagai
insang (alat pernafasan).
Artemia dewasa
berukuran panjang kira-kira 10mm pada jenis biseksual, dan berukuran sampai 20
mm pada jenis parthenogenesis polyploidy. Fase dewasa ditandai dengan tubuh
yang tumbuh memanjang dengan 2 pasang mata, saluran pencernaan linier, antenna
sensor dan 11 pasang thoracopod yang telah
berfungsi. Hewan jantan mempunyai sepasang supit besar (antenna ke-2)
pada daerah kepala, sementara bagian bawah (posterior) di daerah dada terdapat
sepasang penis yang bisa dilihat.
Hewan betina
tidak terdapat kaki-kaki yang berbeda di daerah kepala tetapi terletak tepat di
belakang thoracopod yang ke-11. Telur berkembang ke dalam 2 ovari yang
berbentuk tabung yang terletak dalam perut (abdomen). Begitu telah matang telur
berubah bentuk menjadi lonjong (spherical) dan berpindah melewati 2 oviduct
(lateral sack) kedalam uterus (kantong telur).
Menjelang proses
kawin (precopulation) pada Artemia dewasa diawali oleh pejantan yang menjepit
si betina dengan antennae-nya diantara uterus dan thoracopod paling belakang/terakhir.
Pasangan jantan-betina ini dapat berenang-renang dalam waktu yang lama dalam
“posisi membonceng”, memukul thoracopod-nya pada laju yang sinkron.
Proses kopulasi
yang sebenarnya terjadi secara cepat dan reflek, yaitu dimana perut Artemia jantan
ditekuk kedepan, begitu penis dimasukkan kedalam uterus, telur dibuahi. Pada
Artemia jenis parthenogenesis pembuahan tidak terjadi dan perkembangan embrio
bermula begitu telur sampai di uterus. Telur yang telah dibuahi normalnya
berkembang menjadi nauplii yang langsung mampu berenang bebas (free-swimming
nauplii) (ovoviparous reproduction) yang dikeluarkan induknya.
Pada kondisi
ektrim, misal kadar garam tinggi atau kadar oksigen rendah, kelenjar
cangkangnya, yakni organ berbentuk seperti anggur yang terletak di uterus,
menjadi aktif dan mengakumulasi produk sekresi berwarna coklat (haematine).
Embryo hanya akan berkembang sampai pada tahap gastrula dimana tahap ini embrio
akan dikelilingi oleh kerangka keras dan tebal yang diproduksi oleh kelenjar cangkang
coklat, memasuki tahap istirahat (dormancy) atau diapauze (berhentinya proses
metabolism embrio) dan dilepaskan oleh betina (oviparous reproduction).
Telur
biasanya akan terapung-apung di permukaan perairan pada kadar garam yang tinggi
dan akan terseret kepinggiran oleh angin dimana telur kemudian mengumpul dan
mengering. Karena proses dehidrasi ini, mekanisme diapauze terhenti sehingga
telur kembali mengalami proses perkembangan embrionik berikutnya ketika
terhidrasi pada kondisi optimal untuk menetas. Pada kondisi optimal, Artemia
bisa hidup untuk beberapa bulan, tumbuh dari nauplius samapi dewasa hanya 8
hari dan bereproduksi pada laju lebih dari 300 nauplii atau kista tiap 4 hari.
2.3. Teknik penetasan Artemia
2.3.1. Secara aerasi
Dimulai dari
perendaman sebanyak 1-5 g kista Artemia dalam media air laut + 1-5 g natrium
bikarbonat atau baking soda kemudian diaduk. Setelah 1 jam kista aka nada yang
tenggelam berarti proses hidrasi berjalan baik, sementara itu juga ada yang
terapung. Yang terapung ini biasanya kista yang sudah rusak. Dalam tujuan untuk
feeding yang diperlukan adalah kista yang terhidrasi baik. Kista inilah yang
diambil yang selanjutnya akan ditetaskan atau didekapsulasi.
Bila kista tadi mau ditetaskan langsung, maka
kista yang terkumpul kemudian dimasukkan kedalam wadah konikal untuk diaerasi
dengan laju 2L per menit selama 24-72 jam, dengan penyinaran lampu TL 40 watt
yang diposisikan horizontal tepat diatas wadah inkubasi, misal 20 cm, dan
aerasi diberikan dari bawah agar terjadi pengadukan kista namun perlu
diperhatikan agar dalam media tidak terjadi foaming (atau timbulnya busa akibat
aerasi yang ekstra kuat). Terlalu kuatnya aerasi yang dilakukan terhadap wadah
yang kecil juga mengakibatkan tumpahnya media dengan kistanya dari wadah
inkubasi.
Setelah menetas, secara serempak, nauplii yang
menetas kemudia dikumpulkan, dan dipisahkan dari cangkang kista yang telah
pecah akibat penetasan. Cara yang dilakukan untuk pemisahan ini, biasanya
dengan cara menyaring memakai alat separator atau dengan saringan nylon
sehingga nauplii tertahan sementara pecahan kista lolos. Cara lain yang
dilakukan praktisi adalah dengan menempatkan lampu disamping wadah inkubasi.
Setelah aerasi
dimatikan, maka akan terlihat kelompok nauplii yang berenang-renang bebas dalam
suspense, sementara pecahan cangkang akan mengapung di permukaan. Bilamana
lampu TL diposisikan disamping wadah transparan sebagai wadah inkubasi, maka
nauplii akan mengumpul kearah sumber cahaya (positive phototaxis). Nauplii yang
mengumpul ini kemudian diambil. Lama waktu aerasi sehingga kista menetas
tergantung pada jenis kista yang dipakai.
Gambar
3. Penetasan telur
Artemia secara aerasi
2.3.2. Secara Dekapsulisasi
Dekapsulisasi
merupakan suatu proses untuk menghilangkan lapisan terluar dari kista artemia
yang "keras" (korion). Proses ini setidaknya akan mempermudah
"bayi" artemia untuk keluar dari "sarang"nya. Dan kalaupun
tidak berhasil "menetas", kista yang telah didekapsulisasi masih bisa
diberikan kepada ikan/burayak dengan aman, karena korionnya sudah hilang,
sehingga akan dapat dicerna dengan mudah. Disamping itu proses ini juga
sekaligus merupakan proses disinfeksi terhadap kontaminan seperti bakteri,
jamur dll.
Bahan yang
diperlukan adalah larutan pemutih/bleaching agent (natrium hipoklorit) 12.5%.
Kalau anda menggunakan produk komersial, pastikan konsentrasi dan kemungkinan
adanya kandungan bahan lain. Untuk ilustrasi berikut saya berikan contoh cara
untuk melakukan dekapsulisasi kista artemia sebanyak 5 gram. Rendam 5 g kista
artemia (kurang lebih 1.5 sendok teh) dalam 400 ml air tawar, beri aerasi, dan
biarkan selama 1-2 jam, hingga kista tersebut mengalami hidrasi dengan baik.
Hal ini ditandai
dengan bentuk kista yang sudah membentuk bulatan sempurna. Kemudian tambahkan
larutan pemutih sebanyak 27 ml. Penambahan pemutih akan menyebabkan kista
berubah warna menjadi coklat kemudian manjadi putih dalam waktu kurang lebih 2
menit. Selanjutnya dalam 5-7 menit kista akan berubah warna menjadi orange.
Apabila 95% kista telah berwarna orange hentikan reaksi; kemudian segera cuci
dengan air bersih sampai bau klorin hilang. Kista sekarang siap ditetaskan atau
bisa disimpan dalam kulkas untuk selama 1 minggu.
Apabila akan
disimpan lebih lama, kista perlu didehidarsi kembali dengan menggunakan larutan
garam 30%. Setelah didehidrasi, kista dapat disimpan dalam kulkas untuk selama
2-3 bulan.
Gambar
4. Penetasan telur
Artemia sevara dekapsulisasi
III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Dari uraian tulisan di
atas dapat disimpulkan bahwa Artemia merupakan salah satu pakan alami yang
memilki kelebihan yang tinggi dibandingkan dengan pakan alami lainnya yakni
dalam bidang nilai gizi, ukurannya yang sesuai dengan bukaan mulut bagi
mangsanya dan siklus hidup Artemia yang juga bisa dikatakan cukup singkat
sehingga dalam memproduksinya tidak membutuhkan waktu yang lama.
Selain itu, setidaknya
terdapat dua cara yang sering dipakai untuk menetaskan telur Artemia yakni
secara aerasi dan dekapsulisasi. Bersadarkan beberapa jurnal penelitian, cara
dekapsulisasi memiliki keunggulan dibandingkan dengan cara lain yakni jumlah
telur yang menetas lebih optimal.
3.2. Saran
Adapun pada saran,
penulis berharap ketika pelajaran tentang Artemia ini tidak hanya disajikan
teori saja namun juga diikuti dengan praktek karena diketahui bahwa penetasan telur
Artemia bukanlah merupakan kegiatan yang sulit.
DAFTAR
PUSTAKA
Jusadi, D. 2003.
Budidaya Pakan Alami “Modul Penetasan Artemia”. Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Departemen
Pendidikan Nasional.
Teamean. 2009.
Pakan Alami : Artemia. http://teamean.wordpress.com/tag/artemia/. Diakses pada 02 juni 2012 pukul
11.30 wib
No comments:
Post a Comment