Monday, January 3, 2011

Makna Kata "Kami" dalam Al-Qur'an


Makna Kata “Kami” dalam Al-Qur’an
saya mendapatkannya dari alamat ini : http://www.sobatmuslim.com/ensiklopedia/al-quran-mengakui-trinitas/
Dalam forum lintas agama, terkadang kita menemui suatu pernyataan yang mengatakan  bahwa “Al Qur’an mengakui adanya Trinitas”. Dan dalam memperkuat argumennya mereka mengemukakan beberapa ayat yang menuliskan kata Kami sebagai bukti bahwa Tuhan bukan hanya satu sebagai mana di klaim oleh muslim. Mereka mengatakan bahwa kata Kami bermakna Allah, Isa dan Ruhul Qudus dan itulah Trinitas. 
Bagi mereka yang paham, tentu saja hal ini dapat mereka pahami dengan jelas kebohongannya, tetapi bagi yang awam tentu saja akan sedikit menimbulkan “was-was” dalam keimanannya. Dan berikut penjelasan makna sebenarnya kata “Kami” yang banyak terdapat dalam Al Qur’anul Karim 
Didalam kitab “Fatawa al Azhar” disebutkan bahwa sesungguhnya Al Qur’an al Karim diturunkan dari sisi Allah swt dengan bahasa arab yang merupakan bahasa Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan diturunkan dengan tingkat balaghah dan kefasehan tertinggi.
Dengan bahasa Arab yang jelas. QS. Asy Syuara’ : 195
Dan merupakan suatu kebiasaan dikalangan orang-orang Arab bahwa seorang pembicara mengungkapkan tentang dirinya dengan menggunakan lafazh أنا (saya) dan jika terdapat orang lain bersamanya maka menggunakan lafazh نحن (kami) sebagaimana lafazh نحن (kami) digunakan si pembicara untuk mengagungkan dirinya sendiri. Pengagungan manusia terhadap dirinya sendiri dikarenakan dirinya memiliki berbagai daya tarik untuk diagungkan.
Bisa jadi hal itu dikarenakan dia memiliki jabatan, reputasi, kedudukan atau nasab lalu dia membicarakan tentang dirinya itu sebagai bentuk keagungan dan kebesaran. Bisa jadi juga untuk memberikan perasaan takut didalam hati orang lain seakan-akan dirinya sebanding dengan beberapa orang bukan dengan hanya satu orang. Bisa jadi seseorang mengungkapkan dirinya dengan lafazh نحن (kami) karena begitu banyak keahliannya seakan-akan beberapa orang ada didalam diri satu orang. Sehingga bentuk plural dan jama’ itu adalah pada pengaruhnya bukan pada si pemberi pengaruh.
Bentuk pengagungan diri pembicara atau orang yang diajak bicara terdapat pula didalam bahasa-bahasa lainnya bukan hanya didalam bahasa arab dan digunakan pula untuk tujuan-tujuan seperti disebutkan diatas.
Apabila Allah swt Tuhan Pemilik Keagungan berfirman :
Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka. QS. Al Insan : 28
Posisi Allah di situ sebagai pemberi karunia kepada semua makhluk, pemberi nikmat, memberikan perasaan takut dan membuat lari orang-orang kafir sesuai dengan kata ganti pengagungan terhadap diri-Nya yang memberikan makna kuat dan gagah.
Dan apabila Allah berfirman :
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. QS. Al Hijr : 9
Posisi di situ sebagai pemilik kemampuan yang mampu memberikan ketenangan berupa pemeliharaan Allah terhadap Al Qur’an yang telah diturunkan dengan kekuasaan dan hikmah-Nya. Dan apabila Allah berfirman :
Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat), QS. Ghafir : 15
Didalamnya terdapat dua ketenangan berupa pemeliharaan Allah terhadap Rasul-Rasul-Nya dan memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka seakan-akan berbagai pemeliharaan dengan sarana-sarana yang bermacam-macam. 
Kembali ke penjelasan kata Kami dalam Al Qur’an, dalam tata bahasa Arab, kita tentu mengenal kata ganti pertama  أنا (saya) adalah, نحن (kami). Sama dengan tata bahasa lainnya. Akan tetapi, dalam bahasa Arab, kata ganti pertama plural dapat, dan sering, difungsikan sebagai singular. Dalam tata bahasa Arab [nahwu-sharaf], hal demikian ini disebut “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i”, kata ganti pertama yang mengagungkan dirinya sendiri. Nah, permasalahan terjadi setelah al-Quran yang berbahasa Arab, dengan kekhasan tata bahasanya, diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk Indonesia, yang tak mengenal “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” tsb. Dan sisi perbedaan tata bahasa inilah yang digunakan para penghujat Al Qur’an guna menyerang orang awam yang tidak mengerti tata bahasa Al Qur’an atau bahkan penyerang tersbutlah yang tertipu karena tidak pula mengerti tata bahasa Al Qur’an.
Karena perbedaan tata bahasa ini pula, para ulama Indonesia terdahulu enggan untuk menterjemahkan kitab-kitab bahasa Arab guna menghindari kerancuan tata bahasa dan baru kini lah penterjemahan kitab-kitab banyak terjadi. 
Ref : 


No comments:

Post a Comment