PERHATIAN : diperbolehkan untuk meng-copy materi ini dengan syarat
hanya untuk akademis dan mencantumkan Nama Penulis dan alamat web halaman ini pada Daftar Pustaka Anda
Laut
Sebagai Solusi Penyerap Emisi Karbon Dioksida Untuk Penanggulangan Efek
Pemanasan Global
Oleh
TEGUH HERIYANTO
0904121598
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2012
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini mengenai Laut
Sebagai Solusi Penyerap Emisi Karbon Dioksida Untuk Penanggulangan Efek Pemanasan
Global. Serta Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW yang telah megajarkan
kita agar selalu menuntut ilmu sampai akhir hayat nanti.
Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan arahan
kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini, terutama untuk dosen
pembimbing yakni Ibu Ir. Hj. Irvina Nurachmi, M.Sc. Begitu juga kepada
teman-teman yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan gagasan tertulis ini.
Penulis sangat menyadari
adanya kekurangan di dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini. Atas segala
kekurangan tersebut penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca. Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Pekanbaru, 29 Februari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR............................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR................................................................................. iii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Gagasan Kreatif
1.4. Tujuan dan Manfaat
II. TELAAH
PUSTAKA
2.1. Pemanasan Global
2.2. Laut
2.2.1. Ekosistem
Mangrove
2.2.2. Ekosistem
Padang Lamun
2.2.3. Ekosistem
Terumbu Karang
2.2.4. Fitoplankton
III. METODE
PENULISAN
IV. ANALISIS
DAN SINTESIS
4.1. Analasis Permasalahan
4.2. Sintesis Permasalahan
4.2.1. Ekosistem
Mangrove
4.2.2. Ekosistem
Padang Lamun
4.2.3. Ekosistem
Terumbu Karang
4.2.4. Fitoplankton
4.3. Langkah-langkah
Strategis
4.3.1. Kebijakan
Pemerintah
4.3.2. Keterlibatan
Ilmuwan dan Teknisi Lapangan
4.3.3. Aparatur
daerah dan masyarakat
V. KESIMPULAN
DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR
GAMBAR
Gambar Halaman
1. Emisi Karbon secara Global
2. Emisi Karbon dioksida per kapita Indonesia
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemanasan
global bukanlah isu yang baru mencuat di dunia. Suhu rata-rata global pada
permukaan bumi telah meningkat 0,74 ± 0,18˚C selama seratus tahun terakhir. Aktivitas
manusia telah menimbulkan dampak terhadap perubahan iklim bumi yang dapat dirasakan
hingga saat ini. Perubahan global diakibatkan efek emisi seperti CO2,
CH4, N2O, CF4, C2F6. Gas
ini yang menyebabkan terjadinya suhu udara seperti di rumah kaca di atmosfer
yang kemudian dikenal sebagai Gas Rumah Kaca. Gas
Rumah Kaca ini telah menyebabkan meningkatkan suhu di bumi sehingga kian
menjadi panas karena tersekap oleh kondisi yang dimunculkan oleh emisi gas yang
dihasilkan oleh kegiatan industri, transportasi dan aktivitas anthropogenik
lainnya yang mempergunakan sumber energi fosil (batubara, minyak bumi dan gas)
serta berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap CO2 akibat
deforestasi.
Semua negara yang ada di dunia ini
sedang berusaha melakukan tindakan-tindakan atau upaya untuk meredam efek yang
lebih lanjut dari meningkatnya emisi gas karbon dioksida pada perubahan iklim
global. Indonesia termasuk salah satu negara yang juga merasakan efek dari
pemanasan global. Pada saat ini sering mulai terjadinya bencana alam seperti
banjir, peningkatan suhu, cuaca yang tak menentu dan lain sebagainya.
Hal ini wajar terjadi karena diketahui bahwa
saat ini Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di
dunia. Emisi gas rumah kaca Indonesia diperkirakan akan tumbuh 2% per
tahun dan mencapai 2.80 miliar ton CO2 ekuivalen (CO2e)
pada 2020 dan 3.60 milar ton CO2 ekuivalen (CO2e) pada
2030 (Firman dan Kurniawan, 2011). Untuk itu Pemeritah melalui Presiden
Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Hutan merupakan ekosistem yang
diharapkan dapat mengurangi emisi karbon dioksida karena hutan mampu menyerap
emisi karbon dioksida yang berada di atmosfer yang digunakan oleh tumbuh-
tumbuhan di dalam hutan tersebut. Namun kenyataanya luas hutan Indonesia lama-kelamaan
terus berkurang dikarenakan adanya permasalahan seperti pembalakan hutan secara
ilegal, pembakaran hutan, konversi hutan sebagai lahan pertanian dan perkebunan
bencana alam dan lain-lain.
Menurut
Departemen Kehutanan (2009), selama tahun 2008 telah tercatat berbagai gangguan
yang mengancam eksistensi dan kondisi kawasan hutan. Gangguan berupa
penyerobotan kawasan hutan oleh masyarakat mencapai luasan 52.972,27 hektar,
sedangkan gangguan terhadap tegakan hutan berupa penebangan ilegal diperkirakan
telah mengakibatkan kehilangan kayu 14.632,36 m3 kayu bulat. Sebagaimana
dilaporkan oleh pemerintah daerah/UPT, kebakaran melanda kawasan hutan seluas ±
6.793,08 Ha. Hal ini membuat kemampuan hutan sebagai penyerap emisi karbon dioksida
di atmosfer menjadi berkurang. Sehingga hutan tak lagi mampu menjadi harapan
untuk dapat mengatasi pemanasan global.
Disamping hutan, lautan merupakan salah
satu penyerap CO2 utama di dunia. Luas
laut Indonesia adalah 3.288.680 km2 atau sekitar 63% dari total
wilayah Indonesia. Pengkajian potensi laut dalam menyerap dan menyimpan CO2 akan
sangat penting bagi Indonesia dan dalam upaya meningkatkan negosiasi Indonesia
dalam perundingan internasional tentang kebijakan iklim global (Susandi et
al, 2006). Laut indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang
tinggi mulai dari flora maupun fauna serta organisme yang berukuran makroskopis
hingga berukuran mikroskopis. Walaupun demikian potensi laut Indonesia masih
belum termanfaatkan dengan baik. Oleh sebab itu sangat sedikit sekali orang
yang mampu melirik potensi laut khususnya fungsi laut sebagai penyerap emisi
karbon dioksida.
1.2. Rumusan Masalah
Pemanasan global yang terjadi akibat
meningkatnya emisi gas rumah kaca, khususnya emisi karbon dioksida di atmosfer,
sedikit banyaknya telah mempengaruhi perubahan iklim dunia termasuk Indonesia.
Mulai terjadinya kenaikan permukaan air laut, tingginya pasang, perubahan cuaca
yang tak sesuai pada musimnya lagi. Untuk menghadapi permasalahan tersebut,
pemerintah lebih berkonsentrasi pada pemanfaatan hutan sebagai solusi dari
permasalahan pemanasan global tersebut.
Potensi laut Indonesia
yang luasnya 2/3 dari luas keseluruhan wilayahnya ini menjadi terabaikan.
Padahal kemampuan laut sebagai penyerap emisi karbon dioksida tidak kalah dari
hutan. Hal ini kemudian berujung pada rendahnya kesadaran masyarakat untuk
menjaga kelestarian laut tersebut.
1.3. Gagasan Kreatif
Berdasarkan pemaparan kondisi lingkungan
di atas maka Indonesia harus segera menyiapkan strategi jangka panjang untuk menjadikan
laut sebagai solusi penurunan emisi gas rumah kaca yang mendorong terjadinya
pemanasan global. Indonesia yang memiliki luas
lautan 2/3 dari keseluruhan luas wilayahnya tersebut merupakan wilayah
yang sangat luas untuk dapat menyerap emisi karbon dioksida.
Selain
dikarenakan laut itu sendiri dapat menyerap karbon dioksida, 3 ekosistem
terbesarnya pun juga mampu mengambil andil yang cukup besar untuk mengatasi
masalah penyerepan emisi gas rumah kaca, ekosistem tersebut adalah Ekosistem
Mangrove, Ekosistem Padang Lamun dan Ekosistem Terumbu Karang. Tidak hanya
berhenti disitu, berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan
menyatakan bahwa Fitoplankton di laut juga ikut andil dalam penyerapan gas
karbon dioksida. Dengan hal-hal tersebut tak khayal target pemerintah untuk dapat
mengurang emisi gas rumah kaca sebesar 26% tahun 2020 pasti bisa terealisasi
dengan pengelolaan laut yang baik.
1.4. Tujuan dan Manfaat
Tujuan pelaksanaan studi ini adalah
untuk memunculkan kesadaran bahwa laut memilki peran dan potensi yang besar
sebagai solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu, dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat dan khususnya pemerintah untuk menjaga
kelestarian laut.
Adapun manfaat
dari studi ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bagi penulis, menambah
pengetahuan, memperluas wawasan dan mempertajam cakrawala berpikir penulis
dalam membberikan solusi pada permasalahan global. Bagi masyarakat, dapat
meningkatkan kesadaran untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan khususnya
laut. Bagi pemerintah dan instansi-instansi yang terkait, dapat menjadi acuan
dalam mengambil kebijakan untuk menyusun rencana aksi nasional penurunan emisi
gas rumah kaca sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
II. TELAAH PUSTAKA
2.1. Pemanasan Global
Pemanasan global adalah suatu proses
meningkatnya suhu
rata-rata atmosfer,
laut, dan daratan bumi (Wikipedia.org). Pemansan
global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas
rumah kaca, yg terus bertambah di udara. CO2 merupakan Gas Rumah
Kaca yang paling dominan dalam menahan
radiasi bumi sehingga temperatur udara meningkat. Menurut Manik (2007) dalam (Latuconsina,
2010), emisi CO2 terutama berasal dari pembakaran bahan bakar
fosil (minyak bumi, gas alam dan batu bara). Sedangkan sumber emisi NOX dan CH4
terutama bersal dari bahan bakar fosil dan pembakaran bahan organik. Sementara
itu CFC merupakan zat kimia ciptaan manusia yang banyak digunakan sebagai zat
pendingin dalam kulkas dan AC, industri plastik busa, gas pendorong pada
kemasan aerosol (pewangi, hairspray, pembersih kaca dan lainnya) yang berperan
terhadap penipisan lapisan Ozon pada atmosfer bumi.
Emisi gas rumah kaca
lebih banyak dihasilkan dari aktivitas manusia yang menggunakan bahan bakar
fosil berupa minyak bumi, batu bara dan gas alam dalam bentuk asap dari knalpot
kendaraan bermotor dan buangan gas dari cerobong asap pabrik. Kebakaran hutan
juga berkontribusi besar bagi pelepasan emisi CO2 ke atmosfer,
sementara itu penggundulan hutan menjadi penyebab berkurangnya penyerapan CO2
oleh vegetasi ( Latuconsina, 2010).
2.2. Laut
Laut atau bahari adalah kumpulan air asin yang luas dan berhubungan dengan samudra. Air di laut
merupakan campuran dari 96,5% air murni dan 3,5% material lainnya seperti
garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak
terlarut. Sifat-sifat fisis utama air laut ditentukan oleh 96,5% air murni
(id.wikipwdia.org). Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari
berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang
berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu unit
fungsional.
Komponen-komponen ini secara fungsional tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari komponen-komponen
tersebut maka akan menyebabkan perubahan pada komponen lainnya. Perubahan ini
tentunya dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan
struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Adapun ekosistem laut
tersebut mulai dari kawasan pesisir hingga ke laut lepas terdiri dari :
2.2.1. Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem
yang kompleks dan khas, yang memiliki daya dukung yang cukup besar terhadap
lingkungan perairan yang ada di sekitarnya (Tupan, 2002). Ekosistem mangrove
adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara
makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang
surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan
mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Hutan mangrove
adalah hutan yang letaknya berada di antara daratan dan laut, serta dipengaruhi
oleh pasang surut. Oleh sebab itu ada yang menyebutnya hutan mangrove sebagai
hutan pasang surut. (Sudarmadji, 2003). Pertumbuhan hutan mangrove adalah
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pasang surut, tanah,
iklim, pH dan salinitas (Chapman, 1976 dalam Sudarmadji, 2003).
Dalam suatu
paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies
mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty et al, 1998). Formasi
hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi
gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik
(Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty et al, 1998). Sedangkan IUCN
(1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove
tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang
surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
2.2.2. Ekosistem Padang Lamun
Padang lamun adalah ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh
lamun sebagai vegetasi yang dominan. Lamun (seagrass) adalah kelompok tumbuhan
berbiji tertutup (Angiospermae) dan berkeping tunggal (Monokotil) yang mampu
hidup secara permanen di bawah permukaan air laut. Padang
lamun adalah ekosistem
khas laut dangkal di
perairan hangat dengan dasar pasir dan didominasi tumbuhan lamun, sekelompok
tumbuhan anggota bangsa Alismatales yang beradaptasi di air asin. Tumbuhan lamun
terdiri dari rhizoma, daun dan akar. Rhizoma adalah batang yang terbenam dan
mendatar di atas permukaan dasar laut.
Padang lamun hanya dapat terbentuk pada
perairan laut dangkal (kurang dari tiga meter) namun dasarnya tidak pernah
terbuka dari perairan (selalu tergenang). Ia dapat dianggap sebagai bagian dari
ekosistem mangrove, walaupun padang lamun dapat
berdiri sendiri. Padang lamun juga dapat dilihat sebagai ekosistem antara
ekosostem mangrove dan terumbu karang (id.wikipedia.org). Di perairan
Indonesia, umumnya lamun tumbuh di daerah pasang surut, pantai berpasir dan
sekitar pulau-pulau karang (Nienhuis et al, 1989 dalam Takaendengan et
al, 2010).
2.2.3. Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem
terumbu karangmerupakan ekosistem perairan laut dangkal yang sangat produktif.
Ekosistem ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di perairantropis
(Done, 1982 dalam Manuputty et al, 2008). Terumbu karang adalah struktur
alami yang mempunyai nilai estetika yang tiada tara. Selain sebagai lingkungan
alami, terumbu karang juga mempunyai banyakmanfaat bagi manusia dalarn berbagai
aspek ekonomi, sosial dan budaya termasuk pariwisata (Manuputty et al,
2008).
Terumbu karang merupakan
salah satu ekosistem yang paling kompleks dan paling produktif di dunia.
Barangkali tidak ada tempat di dunia yang dapat menyamai dalam hal bentuk, warna
dan disainnya yang indah serta banyaknya aneka ragam kehidupan (Nybakken, 1992
dalam Kunarso, 2008). Anonim (1993) dalam Kunarso (2008) menyamakan terumbu
karang dengan hutan tropis berkenaan dengan peranan pentingnya dalam ekosistem.
Peran terumbu karang yang mempunyai fungsi alami sebagai lingkungan hidup,
sebagai pelindung fisik bagi sistem pulaunya, sebagai sumber daya hayati dan
sebagai sumber keindahan (Sukarno et al. 1981 dalam Souhoka,
2005). Odum (1971) dalam Souhoka (2005) mengatakan bahwa terumbu karang juga
merupakan benteng pertahanan terdepan daratan terhadap pukulan ombak.
2.2.4. Fitoplankton
Fitoplankton
adalah komponen autotrof plankton. Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis
makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan
energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen
(id.wikipedia.org). Umumnya fitoplankton banyak terdapat pada zona eufotik, karena
cahaya relatif banyak tersedia untuk proses fotosintesis. Faktor – faktor yang
mempengaruhi distribusi fitoplankton secara vertikal antara lain intensitas
cahaya matahari, ketersediaan unsur hara, adanya aktivitas grazing, gas-gas
terlarut, gaya gravitasi bumi dan umur organisma (Sulawesty, 2007). Kelimpahan
fitoplankton tinggi pada lapisan permukaan dan menurun sesuai dengan semakin
bertambahnya kedalaman dan semakin menurunya daya tembus cahaya matahari
(Davis, 1995 dalam Sulawesty, 2007).
Fitoplankton adalah
mikroorganisme yang memilki peranan penting dalam siklus rantai makanan pada
ekosistem perairan baik yang berada di darat maupun laut(Vashista, 1999 dalam
Darusalam et al, 2008). Peranan penting tersebut ditunjang oleh
fotosintesis yang terjadi pada fitoplankton untuk melangsungkan proses
metabolisme. Proses fotosintesis pada fitoplankton menghasilkan oksigen. Dalam
proses tersebut terjadi penyerapan dan penguraian gas karbon dioksida (Wong,
1982 dalam Darusalam et al, 2008). Dari berbagai organisme akuatik,
komunitas fitoplankton merupakan salah satu indikator dari adanya perubahan
lingkungan laut sekitarnya. Hal ini terkait dengan peranannya dalam jaring
makanan serta tingkat adaptasi dan sensitivitasnya yang tinggi terhadap kondisi
lingkungan di antara komunitas organisme lainnya (Soedibjo, 2006).
III. METODE PENULISAN
Metode
yang digunakan dalam penulisan
ini adalah studi literatur dan analisis data sekunder. Data diperoleh dari
telaah pustaka yang diambil dari beberapa sumber seperti buku, media online,
artikel, jurnal serta publikasi yang diperoleh dari internet. Melaui
serangkaian proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca
dan diinterpretasikan, data yang dikumpulkan di-edit dan disusun
kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan serta merumuskan rekomendasi.
IV. ANALISIS DAN SINTESIS
4.1. Analasis Permasalahan
Melihat
grafik emisi karbon dioksida yang berasal dari Data Bank Dunia, menunjukkan
tingkat emisi karbon dioksida secara global semakin meningkat dan Indonesia pun
mengalami peningkatan cukup drastis yang dapat dilihat pada gambar-gambar di
bawah ini :
Sumber : Data
Bank Dunia
Sumber : Data
Bank Dunia
Melihat
keadaan emisi karbondioksida tersebut dan keadaan hutan Indonesia yang luasnya
semakin lama semakin berkurang, maka dibutuhkan solusi yang efektif untuk
menanggulanginya yaitu laut. Namun masih sedikit orang yang melirik potensi
laut sebagai penyerap karbon sehingga kondisi laut tidak begitu diperhatikan.
4.2. Sintesis Permasalahan
Melihat
potensi hutan Indonesia yang lama-kelamaan yang luasnya terus berkurang
sehingga kurang bisa diharapkan untuk mengatasi permasalahan pemanasan global
ini, maka laut merupakan solusi yang terbaik. Aliran
karbon dioksida (CO2) dari udara melewati muka air laut merupakan
fungsi dari kelarutan (solubility) CO2 di dalam air laut dan dikenal
sebagai Solubility Pump. Jumlah CO2
terlarut di air laut adalah utamanya dipengaruhi oleh kondisi fisika-kimia
(suhu air laut, salinitas, total alkalinitas) dan proses biologi (produktivitas
primer) yang terjadi di laut. Melalui proses pertukaran gas, CO2
ditransfer dari udara ke laut dan berubah bentuk menjadi Dissolved Inorganik Carbon (DIC). Proses ini terjadi secara terus
menerus karena laut tidak jenuh oleh kandungan CO2 jika dibandingkan
atmosfer. Proses ini sangat efisien terjadi di wilayah dengan posisi lintang
tinggi (temperate) karena kelarutan
CO2 sangat efisien pada
kondisi suhu rendah. Pada proses seperti ini, CO2 di atmosfer dalam
jumlah banyak akan terlarut dan tersimpan sehingga tidak menjadi gas rumah kaca
di atmosfer.
Produktivitas primer
di laut sangat ditentukan oleh keberadaan CO2 untuk melakukan proses
fotosintesis utamanya oleh fitoplankton dan proses ini dikenal sebagai Biological Pump. Bersama dengan Solubility Pump, proses Biological Pump akan berjalan dan
mengendapkan karbon (Carbon Sinks) di
dasar laut.Laut Indonesia memiliki berbagai macam
ekosistem yakni ekosistem laut, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu
karang serta komponen lainnya. Banyak penelitian yang dilakukan pengenai
ekosistem tersebut dan fakta penelitian menyebutkan ekosistem laut mampu
menyerap emisi karbondioksia diatmosfer sehingga mampu menjadi harapan baru untuk
mengatasi pemanasan global.
Berikut gambaran
mengenai kemampuan/ potensi ekosistem laut serta komponen lainnya untuk
menyerap emisi karbondioksida :
4.2.1. Ekosistem Mangrove
Ekosistem
mangrove yang biasa juga disebut dengan hutan mangrove memiliki kemampuan seperti
halnya tumbuhan lain dalam menyerap karbon dioksida. Karbon dioksida diserap
untuk kebutuhan proses fotosintesis. Menurut data dari UNEP (2009) dalam
Kawaroe (2009) mengatakan bahwa vegetasi mangrove dengan luas area 0,17 juta km2
mampu menyerap atau mengendapkan karbon
organik sebesar 1,39 Ton C/ Ha/ Tahun.
4.2.2. Ekosistem Padang Lamun
Padang
lamun sebagai vegetasi ekosistem pesisir bersama sama dengan mangrove dan hutan
di darat merupakan pusat keanekaragaman (hot spot) yang menyediakan fungsi
penting dan bernilai yaitu sebagai karbon sinks seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Padang lamun menyerap karbon dioksida dengan memanfaatkan karbon
dioksida yang terlarut di dalam air laut utnuk melakukan proses fotosintesis. Menurut
data dari UNEP (2009) dalam Kawaroe (2009) mengatakan bahwa Vegetasi padang
lamun dengan luas area 0,33 juta km2 mampu menyerap atau
mengendapkan karbon organik sebesar 0,83
Ton C/ Ha/ Tahun.
4.2.3. Ekosistem Terumbu Karang
Hewan karang mendapatkan oksigen yang
berasal dari alga zooxanthellae. Alga tersebutlah yang menyerap gas
karbon dioksida yang larut ke dalam air laut yang digunakan untuk proses
fotosintesis. Hewan karang pembentuk bangunan/kerangka karang dari tumpukan
kapur (CaCO3) sebagai hasil fotosintesis jutaan alga zooxanthellae yang
hidup bersimbiosis dalam jaringan tubuh hewan karang tersebut. Menurut
Supriharyono (2007) dalam Latuconsina (2010), laju kalsifikasi (produksi kapur
CaCO3) akan meningkat seiring meningkatnya laju fotosintesis alga zooxanthellae.
Ekosistem terumbu karang seluas 61 ribu km2 dengan
daya serap 73,5 juta ton CO2 per tahun.
4.2.4. Fitoplankton
Dalam proses fotosintesis di lautan,
fitoplankton dapat mengikat secara langsung CO2 dari atmosfer
sebagai bahan dasar untuk kelangsungan proses fotosintesis yang menghasilkan O2
terlarut untuk kebutuhan biota laut lainnya dalam proses respirasi. Menurut
Dahuri (2003) dalam Latuconsina (2010), fitoplankton juga berfungsi sebagai biological
carbon pump yang mampu menyerap CO2 dari atmosfer dan pada kolom
perairan, dikarenakan laut dalam akan melakukan resirkulasi CO2 ke
permukaan laut yang kemudian dapat melepaskannya ke atmosfer, sehingga jika
fitoplankon mengalami kematian masal maka akan menurunkan penyerapan CO2,
menyebabkan kandungan CO2 di atmosfer dan di kolom perairan akan
meningkat drastis 2-3 kali lipat sekitar 1 abad kedepan.
Menurut Nontji (2008) dalam
Latuconsina (2010), kemampuan fitoplankton laut untuk menyerap CO2
dari atmosfer tidak kalah besarnya dengan kemampuan seluruh tumbuhan yang ada
di daratan dalam menyerap CO2, karena fitoplankton laut dapat
menyerap sekitar 40-50 miliar ton karbon per tahun dan memiliki peranan penting
dalam menjaga kesimbangan panas bumi pengontrolan perluasan dan ketebalan awan
yang melewati lautan sehingga dikenal sebagai pengatur dan pengendali iklim
global. Dengan demikian, tanpa kehadiran fitoplankton di lautan maka temperatur
bumi akan menjadi lebih panas dari semestinya, yang menyebabkan bumi tidak
layak untuk dihuni oleh makhluk hidup.
4.3. Langkah-langkah Strategis
Agar
dapat menerapkan semua konsep-konsep di atas, perlu adanya langkah-langkah
strategis yang dapat digambarkan sebagai berikut :
4.3.1. Kebijakan Pemerintah
Untuk dapat
mengimplementasikan pemikiran dan perhitungan di atas agar dapat mengatasi
permasalahan pemanasan global, maka pihak yang pertama kali bergerak adalah
pemerintah melalui kebijakan yang mengarahkan kegiatan penganggulangan efek
dari pemanasan global secara tepat dan terencana.
4.3.2. Keterlibatan Ilmuwan dan Teknisi Lapangan
Keterlibatan
ilmuwan mutlak diperlukan untuk dapat mengarahkan setiap kebijakan pemerintah
dalam menyusun rencana kerja guna menghadapi permasalahan yang akan dijumpai.
Teknisi lapangan juga tidak terlepas dalam kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan, teknisi lapangan yang handal akan dapat melakukan tugas yang telah
ditetapkan secara baik.
4.3.3. Aparatur daerah dan masyarakat
Aparatur daerah
mempunyai andil yang cukup besar pula dalam hal pengawasan dan pengamatan
langsung terhadap hasil yang ingin diperoleh secara langsung dan juga
memberikan penyuluhan guna menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk ikut serta
dalam upaya penanggulangan efek pemanasan global.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Dari hasil
penelitian-penelitian yang telah dipublikasikan tentang laut beserta ekosistem
dan kompeonen di dalamnya. Terbukti bahwa laut memang meiliki kemampuan untuk
menyerap emisi karbon dioksida dalam
jumlah yang cukup besar sehingga mampu mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca
di udara yang dapat meningkatkan suhu bumi. Fakta ini menjadi bukti bahwa laut
memang dapat menjadi solusi untuk penanggulangan masalah pemanasan global.
5.2. Rekomendasi
Perlu adanya perhatian
yang lebih besar dari pemerintah terhadap potensi laut sebagai penyerap
emisi gas rumah kaca denagn cara
memperluas daerah perlindungan dan konservasi lingkunagn laut untuk menjaga
kelestariannya agar tidak rusak sehingga kemempuan laut untuk menyrap emisi gas
rumah kaca dapat menjadi lebih sempurna. Selain itu masyarakat juga dapat
dilibatkan dalam hal menjaga lingkungan laut dengan cara ikut mengawasi adanya
tindakan-tindakan dari pihak lain untuk merusak lingkungan laut.
DAFTAR
PUSTAKA
Data.worldbank.org
Darusalam, U. dan
Wigajatri, R., 2008. Pengukuran konsentrasi fitoplankton dengan metoda
fluoresensi. Giga : jurnal ilmiah, 11 (20-30).
Departemen Kehutanan,
2009. Statistik Kehutanan Indonesia 2008. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Firman, M. dan
Kurniawan, I., 2011. http://teknologi.vivanews.com/news/read/274338-2030--emisi-gas-rumah-kaca-indonesia-3-6m-ton.
Diakses pada 27 Februari 2012 pukul 13.59.
Idawaty, R., Zain, P.
dan Qodarian, 1998. Perencanaan hipotetik ruang hijau di pemukiman real estat:
studi kasus: Metro Sunter Real Estat, Jakarta Utara. Buletin taman dan lanskap
Indonesia. 1 (null).
id.wikipedia.org
Kawaroe, M., 2009. Perspektif
lamun sebagai blue carbon sink di laut. Departemen
Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 12 hal.
Kunarso, 2008. Terumbu
karang dalam masalah dan terancam bahaya. Bahari
Jogja : majalah ilmiah, 8 (38-45).
Latuconsina, H., 2010.
Dampak Pemanasan Global Terhadap Ekosistem Pesisir dan Lautan. Agrikan : jurnal
ilmiah agribisnis perikanan, 3 (30-37).
Manuputty dan
Wildamina, A. E., 2008. Profil terumbu karang dengan tekinik Rapid reef resorce
inventory di pulau-pulau Karimunjawa Jawa Tengah. Oseanologi dan limnologi di
Indonesia, 34 (25-46).
Santoso, N., 2000. Pola
Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional
Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta,
Indonesia.Supriharyono. 2000. Pelestarian.
Soedibjo, B. S., 2006.
Struktur komunitas fitoplankton dan hubungannya dengan beberapa parameters
lingkungan di perairan teluk Jakarta. Oseanologi dan limnologi di Indonesia,
null (65-78).
Souhoka,Jemmy, 2005.
Kondisi terumbu karang di perairan selat Lembeh Sulawesi Utara. Oseanologi dan
limnologi di Indonesia, null (33-50).
Sudarmadji,
2003. Profil hutan mangrove Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Berkala
penelitian hayati. 9 (45-48).
Sulawesty, F., 2007.
Distribusi vertikal fitoplankton di Danau Singkarak. Limnotek : perairan darat
tropis di Indonesia, 14 (37-46).
Susandi, A.,
Subki, A. dan Radjawane, I. M., 2006. Kajian Pertukaran Gas Karbon Dioksida (CO2) Antara Laut dan Udara
di Perairan Indonesia dan Sekitarnya.
Armisusandi.com. 8 hal.
Takaendengan, K. dan
Azkab M. H., 2010. Struktur komunitas lamun di Pulau Talise, Sulawesi Utara.
Oseanologi dan limnologi di Indonesia, 36 (85-95).
Tupan, I Charlotha,
2003. Struktur komunitas mangrove dan interaksinya denagan beberapa faktor
lingkungan di Teluk Pelita Jaya, Seram Barat. Ichthyos : jurnal penelitian
ilmu-ilmu perikanan dan kelautan, 2 (1-6).